Selasa, 23 Oktober 2012

Historiografi Masa Kolonial Hindia Belanda

Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.

Semua itu merupakan keberatan yang meyakinkan, namun jawabannya dapat ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber Belanda saja, yang bersifat naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus ditekankan artinya. Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang dijajarkan dalam almari arsip negara di Den Haag saja sudah berjumlah lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita dari pengganti kompeni, yaitu pemerintah Hindia-Belanda sebagian dari antaranya sudah berjilid, sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang asli sepuluh kali lebih banyak dari jumlah itu. Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia sejak masa yang paling awal, mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di luar kegiatan-kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17, ketika ketidaktahuan Eropa tentang Asia, para pegawai VOC harus menyiapkan laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia, bagi para tuannya di Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan Indonesia, sehingga keputusan yang diambil di Belanda mempunyai dasar yang lebih kokoh daripada dugaan semata.

Kemudian, ketika pemerintah Hindia Belanda memerintah di seluruh Indonesia, para pegawainya diharuskan memberikan laporan tentang seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan kebiasaan setempat yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah agar kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan waktu. Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para pegawai Belanda di timur daripada para pegawai kolonial mana pun.


A. PENULISAN SEJARAH MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA
Penulisan sejarah Hindia Belanda yang tertua dapat disebut pada buku-buku harian kapal yang pada zaman keemasan dicetak dalam jumlah yang besar dan banyak dibaca. Kini buku-buku tersebut diterbitkan kembali dengan lengkap oleh Van Linschoten Vereeniging. Suatu kisah umum yang pertama tentang kegiatan-kegiatan VOC pada masa permulaan terdapat dalam buku Begin ende voortganck van de vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie. Walaupun pelajar-pelajar ke Hindia (Oostinjevaarders) tidak datang untuk belajar melainkan untuk berdagang, sebagian besar dari mereka tidak bisa menghindarkan diri dari mencatat beberapa keterangan tentang berbagai hal yang aneh yang mereka lihat dan dengar. Sangatlah menarik perhatian betapa ekstensifnya surat-surat resmi kompeni dan penuh dengan keterangan-keterangan etnografis dan historis. Tetapi sayang sekali dokumen ini kebanyakan berada dalam arsip. Hanya beberapa dokumen saja yang dikeluarkan dalam zaman Campagnie itu juga seperti buku Van Goen tentang pulau Jawa. Buku yang pertama dalam jenisnya ini justru menceritakan pegawai kompeni yang sejati, penuh perhatian pada masyarakat pribumi yang menakjubkan.


B. KARAKTERISTIK HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Historiografi kolonial memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial. Oleh karena itu motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.

Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya.

Ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Eropa Sentris atau yang lebih fokusnya adalah Belanda Sentris. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia). Pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Fokus pembicaraannya adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Uraian utama yang dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali. Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut:
  1. Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
  2. Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
  3. Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.


C. SEJARAWAN MASA KOLONIAL
1. Valentjin (1666-1727)
Suatu ikhtisar yang besar mengenai segala sesuatu yang dikenal tentang kompeni dan kepulauan ini pada permulaan abad ke 18 adalah “Oud en Nieuw Oost Indien” karangan de F. Valentjin. Ensiklopedia Hindia Belanda dari masa Campagnie ini adalah suatu karya yang sangat dalam 8 jilid buku, dan dihias dengan gambar-gambar yang tidak menarik. Sebenarnya karya itu merupakan suatu kompilasi yang mengagumkan dari pengumumaan, dokumen-dokumen pribadi dan fragmen-fragmen yang dicuri dari karya orang lain yang dikumpulkan oleh sesorang yang mengenal Hindia-Belanda dengan baik.

Valentijn kiranya sangat senang dengan suasana Hindia, dia sendiri juga tidak lepas dari kesalahan. Dia menaruh hati pada kebesaran Campagnie dan pertumbuhan gereja Hindia akan tetapi ia juga mengkritik sejarah Hindia tentang orang-orang tertentu. Dalam karyanya tentang sejarah Maluku ia berdiam bertahun-tahun untuk menulis karya tersebut. Dari banyak peninggalan Jawa kuno yang tercatat dalam babad, interpretasi pertama dan tertua adalah miliki Valentijn.

2. Van Dam
Karyanya lebih resmi dan kurang pribadi sifatnya daripada karya Valentijn. Akan tetapi karya ini kurang berarti karena Van Dam melihatnya melalui kacamata Campagnie dan Hindia yang hanya dikenalnya dari surat-surat dan buku-buku. Van Dam menulis dari Belanda. Anehnya pada masa itu buku Van Dam dirahasiakan. Baru sekarang buku itu diterbitkan dalam Rijks Geschiedkundige Publicatien oleh Dr. F. W. Stapel. Inilah titik puncak dalam penulisan sejarah Compagnie.

3. Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
Raffles melihat Hindia dari segi yang lain sama sekali. Dalam buku karyanya yaitu History of Java, dia banyak banyak menggunakan sumber-sumber pribumi yang dibuka oleh temannya Panembahan dari Sumenep.

thomas stamford raffles
Gambar: Thomas Stamford Raffles


4. J. Hageman (1817-1872)
Hageman merupakan seoarang pencari, pengumpul, pemeriksa, dan seorang yang berpengetahuan luas yang sangat bersemangat dan tidak kenal lelah dan juga karena kurangnya pendidikan, bekerja sangat tidak kritis dan karena itu memberikan banyak kesempatan untuk dikritik. Dia adalah orang Belanda pertamayang telah berusaha menulis sejarah nasional pulau Jawa.

5. De Jonge (1828-1879)
De Jonge sendiri sejak tahun 1854 bekerja pada Arsip Kerajaan. Mulai tahun 1862 ia menerbitkan suatu seri dokumen dalam 10 jilid yang dilengkapi dengan pengantar-pengantar historis.


D. MAZHAB PENULISAN MASA KOLONIAL
1. Mazhab Batavia
Dalam Arsip Negara di Batavia terbentuk suatu mazhab sejarawan-sejarawan Hindia yang mencurahkan perhatiannya pada penerbitan sumber. Antara lain dengan diterbitkannya N.I. Plakkaatboek dan Dagregister (1682) oleh Mr. J.A van der Chije yang disimpan di Kasteel di Batavia. Kepala arsip Negara, F. de Haan, memperkaya Hindia dengan banyak naskah orisinil. Kita hanya tahu karyanya yaitu “Priangan” dan “Oud Batavia” yang popular pada saat itu. Mereka menulis karya-karyanya hanya mengenal Hindia dan penduduk-penduduk Eropa saja melalui pengamatanya sendiri, sehingga penilaian mereka tentang orang-orang Eropa itu tidak lebih baik, paling tidak miliki alasan yang kuat. Sedangkan perhatian mereka pada orang-orang pribumi hanya insidentil saja. Mereka hanya melihat dari sumber buku-buku Campagnie. Tidak ada seorang pun yang bisa mempelajari sumber-sumber pribumi yang asli. Dengan demikian corak penulisan mereka lebih kepada ciri Nasionalistis Nederland, sedangkan sejarah Batavia dan perkumpulan Oud-Batavia telah menjadi kombinasi museum dan Coen-mausoleum.

2. Mazhab Utrecht
Sejak 10 tahun akhirnya Prof. Gerretson melakukan suatu perjuangan terhadap pengertian-pengertian tentang keadaan kolonial yang tidak bisa dikatakan tidak berhasil sama sekali, agar mendapatkan pandangan yang lebih baik dalam hak-hak dan kewajiban kolonial. Dengan demikian mazhab ini beraliran konservatif yang diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van der Capellen dan bahkan membela cultur stelsel yang bertentangan dengan kaum kolonial-liberalisme dan etis pada saat itu.

Mazhab Utrecht menggali masalah-masalah kolonial lebih mendalam dari pada yang pernah dilakukan dan mazhab batavia memperlihatkan perhatiannya kepada orang-orang kolonial. Dibandingkan dengan aliran yang sebelumnya, maka terlihat perbedaan dalam tujuan yang hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan kolonisator. Akan tetapi dalam metodenya tidak memilki perbedaan yaitu sama-sama menggunakan sumber dari peninggalan-peninggalan tertulis maupun lisan dari orang-orang pribumi. Seperti pada tahun 1600, hanya sedikit yang menceritakan tentang periode Hindu Jawa dan Islam tetapi lebih banyak mengungkapkan hal-hal pada masa Campagnie.


E. KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.


F. KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1. Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda
Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.

Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan. Seperti pemberontakan di Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme. Sejarah perang kolonial terutama menguraikan berbagai operasi militer secara mendetail, sedangkan bangsa Indonesia hanya disebut sebgai obyek dari aksi militer itu.

2. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.

3. Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.


G. SARANA BANTU PENELITIAN
Ada dua terbitan yang bersama-sama memberi uraian yang boleh dikatakan lengkap tentang sumber-sumber tercetak mengenai sejarah Indonesia yang ada dalam bahasa Belanda. Keduanya mendaftar bahan sekunder maupun primer, tetapi referensi yang diberikan cukup terinci sehingga pada umumnya memungkinkan kita untuk membedakan yang satu dari yang lainnya. Pertama adalah Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie en het Indisch Genootschap (4 jilid, 1908-1937). Dalam katalog ini disebut hampir seluruh terbitan sejarah tentang jajahan Belanda yang muncul sampai tahun 1935. Karena itu katalog ini dapat dianggap sebagai bibliografi sejarah Indonesia yang hampir lengkap yang ditulis sampai tahun itu.

Alat bantu penelitian tambahan yang bernilai adalah J.C Hooykaas dan lain-lain, ed., Repertorium op de Koloniale Litteratuur (11 jilid, 1877-1935). Karya ini merupakan catalogue raisonne dari semua artikel dalam berbagai majalah, jurnal, dan transaksi perkumpulan-perkumpulan ilmiah yang berkenaan dengan wilayah Belanda di seberang lautan. Karya ini diterbitkan di negeri Belanda antara tahun 1595-1932. Kepustakaan majalah Belanda memuat bahan-bahan rujukan asli secara melimpah ruah. Dalam majalah ilmiah yang daftar namanya terdapat di dalam repertorium, terdapat banyak terjemahan kronik Indonesia, berbagai kumpulan dokumen, dan laporan serta notulen asli dari banyak konperensi dan komisi penyelidik pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar